Category: Other

Other Post

  • Friendster ala Indonesia

    Jika anda membaca Postingan Om Amal, anda akan yakin bahwa sebagian besar Bandwidth Indonesia ke luar negeri dihabiskan untuk akses ke Friendster saja. Dipelbagai tempat banyak sekali orang yang mengakses Friendster ini sehingga memenuhi cache proxy mereka, Rekan saya Affan juga pernah bercerita kepada saya bahwa sebagian besar pengguna internet di tempatnya menghabiskan bandwidth dengan mengakses friendster, ia juga mengkomentari tulisan Om Amal dan menambahkan informasi mengenai ada rekannya di PJI yang mengcluster cache web server, khusus untuk mengcache image dan tulisan dari Friendster.

    Sebetulnya ada hal yang unik dari Friendster, menurut percakapan Om Amal dan Enda yang ditulis diblog Om Amal, sebagian besar pengguna Friendster adalah orang Indonesia dan Filipina. Dahulu sewaktu saya masih amat rajin untuk ber-Friendster-ria saya meyakini pendapat ini, tetapi ketika saya pelajari situs ini lebih jauh sewaktu saya mempersiapkan diri membantu teman saya, Hendy, untuk memasarkan situsnya, saya menemukan hal unik, mengapa kita hanya menemui orang Indonesia dan Filipina saja. Sewaktu anda mendaftarkan friendster pertama kali, anda akan diminta memilih Country, tentunya mereka membagi User yang memilih Country tersebut kedalam wilayah-wilayah tertentu – yang jika anda mencari teman di menu gallery akan muncul secara otomatis teman dari negara yang sama dengan anda. Juga dari teman yang anda add, mungkin juga orang Indonesia yang temannya juga kebanyakan Orang Indonesia, jadi hanya berputar di teori 6 degrees of separation saja. Mungkin yang dimaksudkan oleh Om Amal dan Enda tersebut adalah user Indonesia dan Filipina yang menggila menggunakan friendster sampai memiliki lebih dari satu account.

    Pernah saya menemukan seorang gadis berusia 18 tahun yang memiliki account sampai 300 lebih, setelah saya telusuri dengan bertanya kepada ia, warga Negara Filipina ini membuat satu account Friendster baru setiap harinya, kejadian ini hampir satu tahun lalu, sewaktu Friendster belum seperti sekarang, masih menggunakan batasan untuk menambah teman 10 orang dan 500 orang teman. Dan tebak apa yang gadis ini lakukan setiap harinya ? Online 3 kali sehari selama lebih dari 6 jam untuk mengurusi Friendsternya tersebut.

    Dari hal tersebut seorang teman lama yang bertemu saya disebuah acara seminar, Hendy mengajak saya untuk mengurusi situsnya yang mirip dengan Friendster, sebuah komunitas yang cukup unik, Dahulu sewaktu friendster belum meluncurkan layanan blog, situs ini telah memberikan fasilitas blog untuk setiap usernya. Hanya sayang, kemampuan kami amat terbatas, sampai sekarang situs tersebut masih numpang diserver Pri, dan belum ada perkembangan lebih lanjut.

    Ada lagi sebuah sebuah situs yang Friendster Wanna Be, sebagian besar isinya hampir mirip dengan Friendster, kebetulan sekarang sudah di host di Indonesia, sayangnya kurang tanggapan dari penggunanya, sehingga meski memiliki jumlah user yang cukup banyak, yang aktif sedikit dan gaungnya tidak terdengar sama sekali.

    Saat ini, Kompas Cyber Media juga meluncurkan layanan serupa dengan friendster, Mehompy, yang menurut saya lebih mirip layanan dari Bolehmail dulu, entah situs ini bisa bertahan atau tidak. Situs lain seperti Fupei dan Temanster jarang terdengar, mungkin kurangnya promosi atau kurang coolnya nama sebuah situs internet juga mempengaruhi jumlah user tersebut.

    Ada sebuah ide yang amat baik diterapkan oleh Friendster dan hal itu amat berhasil. Pengguna Friendster bisa mengubah tampilan muka untuk profilnya sehingga terlihat amat indah dan bahkan beberapa dibuat menjadi seperti situs pribadi. Tentunya hal ini dipermudah lagi setelah mengganti alamatnya menjadi http://www.friendster.com/profiles/namauserdisini hal ini dari sudut pandang saya memacu anak-anak untuk belajar html dan css guna memperindah profilnya. Tentu saja lebih menarik dibandingkan situs yang menyajikan layanan Homepage Gratis dengan Template yang bentuknya itu-itu saja dan tidak mudah dimodifikasi, rata-rata orang Indonesia lebih senang untuk memodifikasi dibandingkan membuat dari awal, dan hal itu juga berlaku dibidang ini.

    Jangan heran untuk memasang iklan baris di Friendster melalui pihak ketiga, Adbrite anda harus merogoh kocek sebesar US$2.500 setiap harinya, jumlah yang cukup besar bukan? Saya tidak tahu pasti berapa uang yang dikeluarkan oleh pemasang iklan dari Indonesia seperti proXL, Adidas Indonesia, dan Miles Production yang memasang iklan bergambar (flash) disana. Dan bisa anda bayangkan berapa uang yang berputar disana. Hal ini mungkin memperkecil kemungkinan untuk Friendster menutup layanan gratisnya, dan kecil pula kemungkinan untuk pemain lokal bertarung dengan raksasa ini dan menyedot sebagian user untuk pindah ketempatnya.

    Apakah mungkin Friendster dipindah ke Indonesia, atau memiliki Mirror di Indonesia (IIX) ? mungkin saja, tetapi hal ini menurut saya adalah sebuah inefisiensi dari friendster itu sendiri, mengingat jumlah server yang dipergunakan untuk melayani lebih dari 24 juta pengguna diseluruh dunia ini lebih dari satu, silakan anda bayangkan sendiri jumlahnya dan biaya yang dikeluarkannya.

    Jika demikian, apa yang seharusnya pemain lokal lakukan? Selain membuat content yang menarik, menurut saya, perlunya membuat juga sebuah ide kreatif yang baru dan tentunya selalu peka terhadap perubahan. Selalu waspada terhadap kompetitor lain yang tidak terlihat menurut saya adalah hal terbaik dibandingkan menghadapi kompetitor besar langsung seperti friendster.

    Need A Web Hosting?

    Click Here!

    Advertise Here!

  • Learn, bukan Study!

    Ada hal yang menggelitik perasaan saya ketika saya naik transportasi umum (baca:angkot), dipintunya sering tertulis D1=1,5 Juta D3=3,5 S1=5Juta, Bebas Uang Pangkal, Absensi bebas, Cocok untuk Mahasiswa sibuk dan Karyawan. Jika dibandingkan dengan Institusi tempat saya menimba ilmu sekarang, hal ini amatlah jauh sekali. Sebetulnya Mahal atau murahnya biaya pendidikan itu relatif, tergantung ia siap atau tidak untuk membayarnya. Tetapi apakah anda pernah menyadari, bahwa apa yang anda bayarkan belum tentu sesuai dengan apa yang anda terima?

    Kita kembali lagi kepada tujuan anda menuntut sebuah ilmu, apakah hanya ingin mencari gelar kelulusan? numpang beken dengan nama institusi ? fasilitas yang bagus? mencari nilai tinggi? ataukah ingin menyerap ilmu tersebut sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan nilai? Disinilah letak perbedaan antara Learn dan Study.

    Kebanyakan di Indonesia yang dianut adalah sistem Study, jadi siswa dituntut untuk belajar lebih dari 80% pelajaran wajib untuk dihapalkan, sedangkan pelajaran pilihannya hanya 20% dan itupun baru bisa didapat ketika ia telah memasuki tahun ke 3 ketika ia duduk di perguruan tinggi. Hal inilah yang menyebabkan hampir semua lulusan perguruan tinggi di Indonesia, dan yang setara, adalah lulusan cetakan, alias turun-temurun setiap angkatan memiliki keahlian yang hampir sama. Tidak ada perbedaan dari mereka.

    Kreativitas biasanya dikukung oleh peraturan-peraturan dan nilai yang membuat seseorang terobsesi untuk mendapatkan nilai yang baik tanpa menghiraukan tindakan apa yang ia ambil. Ada sebuah anekdot yang saya kutip dari sebuah mailing list manager,

    disebuah sekolah bisnis, dosen tentunya akan menyukai orang-orang yang mendapatkan nilai A, karena mereka berpotensi menjadi penerus dari dosen-dosen tersebut. Sedang yang mendapat nilai B akan bergabung dengan sebagian dari mereka yang mendapatkan nilai A untuk menjadi Top Level Management alias tukang suruh yang hanya bisa menyuruh tanpa menggunakan otak mereka, sedang yang mendapatkan nilai C, 5-10 tahun kemudian akan menjadi entrepreneur handal yang akan mengharumkan nama sekolah mereka.

    Dillemanya rata-rata orang Indonesia ingin menjadi Manager, tanpa melalui proses yang berat. Maka timbullah si KKN itu, dan ibarat roda, kehidupan penuh KKN itu selalu berputar, dimulai dari tindakan kecil seperti mencontek, hingga manipulasi besar-besaran. Cheating is a Crime, masih ingat dibenak saya, hampir 8 tahun lalu sewaktu saya baru masuk SMP, Guru saya membentak beberapa rekan yang kebetulan berada dekat saya dan mereka tertangkap sedang mencontek. Mengapa Mereka Mencontek ? Karena Ingin mencari Nilai, bukan Ilmu!

    Perbedaan ini amat mencolok ketika saya bertanya dengan beberapa rekan saya di Luar negeri, di Negara mereka tinggal, pencarian nilai seseorang amatlah bergantung kepada kemampuan ia untuk menyerap serta mengaplikasikan ilmu tersebut, seorang guru atau dosen yang baik seharusnya bisa menilai kemampuan seseorang bukan dari lembaran kertas ujian saja, melainkan juga dari sikap ia keseharian dan semangat ia dalam menuntut ilmu. Bisa saja dosen atau guru beralasan tidak mungkin menilai banyak orang dalam satu waktu, maka mereka menerapkan sistem Peering Evaluation, alias penilaian antar-individu. Mungkin hal ini cocok diterapkan bukan di Indonesia, dikarenakan sikap professionalismenya mereka yang sudah terbentuk sejak kecil, jadi masalah penilaian tersebut akan lebih obyektif, bukan subyektif, berbeda sekali dengan orang indonesia yang cenderung memendam permasalahan, seolah-olah dianggap selesai tetapi tahu-tahu menikam dari belakang.

    Jadi jika ingin mendapatkan nilai atau Gelar (study), silakan bersekolah di Indonesia, dan jika ingin mendapatkan Ilmu dan bisa mengaplikasikannya (learn), lupakanlah nilai, biarkan mereka menilai ketika anda telah berhasil. Tentunya mereka akan berkata “oooh… jadi begitu…!”.